Tim Ekspedisi Patriot Transmigrasi 2025 Universitas Padjadjaran (Unpad) mengungkap korelasi kasus stunting(gangguan perkembangan) di wilayah pertambangan maupun non-pertambangan di kawasan transmigrasi Bungku, KabupatenMorowali, Sulawesi Tengah. Fokus kegiatan tim adalah pendekatan kualitatif yang mengevaluasi dampak perubahan sosial-ekonomi di daerah transmigrasi dan industri terhadap upaya percepatan penguranganstunting.
Beberapa pihak terlibat dalam tim, mulai dari ibu balitastunting dan non-stuntingyang memiliki anak berusia 0–59 bulan, kader kesehatan desa, tenaga penyuluh gizi dari puskesmas, staf gizi Dinas Kesehatan serta Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah Morowali, hingga pemerintah desa setempat.
Berdasarkan pernyataan ketua tim, Eka Purna Yudha, data yang diperoleh dari lapangan hingga 5 November 2025 menunjukkan terdapat perbedaan dalam faktor penyebabnya.stuntingantara daerah penambangan dan daerah non-penambangan di Kabupaten Morowali.
Di wilayah yang tidak terkait dengan pertambangan, masalah utama berasal dari daya beli yang rendah dan keterbatasan akses terhadap pangan bernutrisi. “Banyak balita”stuntinghanya mengonsumsi dua kali sehari dengan menu sederhana seperti nasi dan kecap tanpa lauk hewani,” ujarnya di laman Unpad, Jumat 7 November 2025. Beberapa anak juga mempercayai makanan ringan yang kurang bergizi sebagai camilan utama.
Sementara di kawasan pertambangan, kasusstuntinglebih sering dikaitkan dengan kondisi lingkungan yang tidak baik akibat kegiatan industri, seperti pencemaran udara yang menyebabkan meningkatnya infeksi saluran pernapasan atas (ISPA). Menurut Eka, aspek ekonomi dan lingkungan perlu dilihat secara berbeda. “Di daerah pertambangan, masalahnya bukan hanya terkait gizi, tetapi juga paparan lingkungan serta perubahan sosial yang cepat,” ujarnya.
Salah satu penemuan yang menarik di Desa Lanona adalah kontradiksi dalam ketersediaan pangan lokal. Meskipun daerah ini kaya akan hasil laut, harga ikan di kalangan masyarakat justru mahal. Mayoritas hasil tangkapan nelayan dijual kepada perusahaan tambang untuk kebutuhan para pekerja industri. Akibatnya, masyarakat transmigrasi harus membeli ikan dengan harga tinggi atau beralih menggunakan lauk nabati seperti tahu dan tempe.
Ahli gizi masyarakat yang turut serta dalam tim, Resa Ana Dina, menganggap situasi ini sebagai bentuk ketidakseimbangan distribusi pangan di tingkat lokal. “Wilayah yang memiliki sumber protein tinggi justru mengalami kekurangan asupan gizi hewani akibat sistem distribusi yang tidak adil. Hal ini menjadi tantangan besar bagi program percepatan penurunan”stunting,” ujarnya.
Tim juga mencatat bahwa fasilitas kesehatan di wilayah transmigrasi masih terbatas. Beberapa puskesmas belum dilengkapi alat antropometri yang lengkap untuk memantau perkembangan anak. Selain itu, penggunaan dana desa untuk programstuntingbelum sepenuhnya tepat sasaran. Di Desa Lanona, misalnya, dana tersebut digunakan untuk pembangunan penahan abrasi pantai, bukan untuk memperoleh pangan tambahan bagi balita.
Aktivitas tim ekspedisi Unpad juga mengungkap perubahan sosial dalam keluarga para transmigran. Banyak orang tua bekerja di perkebunan atau tambang, sehingga anak-anak diasuh oleh kakek dan nenek mereka. Sistem pengasuhan ini berdampak pada kurangnya perhatian terhadap pola makan dan gizi sehari-hari anak, yang akhirnya memengaruhi keberhasilan program penurunan.stunting.
Tim Ekspedisi Patriot Transmigrasi berupaya memberikan saran kebijakan yang didasarkan pada data lapangan kepada pemerintah daerah dan instansi terkait, khususnya dalam penyusunan strategi penanggulangan.stuntingdi wilayah transmigrasi dan sekitar kawasan industri. “Kami berharap dapat menyampaikan suara dari desa ke meja pengambilan kebijakan, bahwa percepatan penurunanstuntingbukan hanya terkait kebutuhan gizi, tetapi juga mengenai akses ekonomi, lingkungan, dan keadilan sosial,” ujar Eka.
Berdasarkan penjelasan yang terdapat di situs resmi Kementerian Kesehatan,stuntingmerupakan kondisi kekurangan gizi yang berlangsung dalam jangka panjang hingga menjadi kronis akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan nutrisi. Stunting berkaitan dengan berbagai faktor, antara lain asupan gizi ibu dan anak, kondisi kesehatan balita, ketahanan pangan, lingkungan sosial dan kesehatan, kondisi tempat tinggal, kemiskinan, serta lainnya.






